Rabu, 12 November 2014

Hilangnya Mutiara Diri, Runtuhnya Harga Diri

 

ADA seorang yang profesinya sebagai penjaga pepohonan hutan berkata bahwa pohon yang tidak berbuah, seperti pohon jati, pohon cemara, pohon palm, pohon sengon dan sejenisnya, biasanya lebih meninggi dibandingkan dengan pohon yang berbuah seperti pohon mangga, pohon pepaya, pohon pisang dan sejenisnya.

Bagai seorang filosof dia kemudian menyatakan bahwa ada pesan filosofis di balik kenyataan itu, yakni bahwa manusia yang “tidak berbuah” memiliki kecenderungan untuk tinggi hati, sombong dan arogan dibandingkan dengan manusia yang “berbuah.”“Buah” pada manusia adalah nilai, manfaat, kebaikan, kebajikan, kebijakan atau makna positif yang bisa menjadikan dirinya bahagia dan bisa memberikan kedamaian dan kesejahteraan kepada lingkungan sekitarnya.

Pada setiap diri manusia sesungguhnya Allah sebagai Pencipta telah mempersiapkan sumber nilai dan kebaikan itu yang oleh Nabi Muhammad disebut sebagai mutiara-mutiara dalam diri manusia.

Eksistensi dan optimalisasi mutiara-mutiara diri akan mengantarkan pada kemuliaan diri, sementara pembiaran dan pelenyapan mutiara diri itu akan mengantarkan pada runtuhnya harga diri manusia.

Nabi Muhammad menyatakan bahwa ada empat mutiara dalam diri manusia yang perlu untuk senantiasa dijaga keberadaannya sepanjang hayat sebagai upaya untuk mempertahankan pangkat derajat mulia kemanusiaannya. Empat mutiara itu adalah akal, agama, rasa malu dan amal shalih (perbuatan baik).

Berkumpulnya empat hal ini dalam diri manusia sungguh akan menuntunnya menuju pribadi yang benar, baik dan indah; pribadi yang fithri, yakni sesuai dengan fitrah diciptakannya.

Tema tentang akal merupakan tema kajian Islam yang tetap menarik sampai saat ini. Diskusinya begitu rumit ketika dikaitkan dengan otak, hati, agama dan jiwa. Namun secara sederhana bisa dinyatakan bahwa akal adalah anugerah Allah pada manusia yang dengannya manusia bisa mengenal mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau begitu, maka fungsi akal adalah lebih dari sekadar kemampuan logika kalkulatif seperti banyak dipersepsikan orang.Akal yang sehat dengan metode berfikir yang benar akan mengantarkan manusia menemukan kebenaran. Dalam konteks ini adalah benar yang dinyatakan oleh beberapa ulama bahwa akal adalah pendamping agama yang tidak mungkin saling berlawanan atau bertentangan atau berlawanan.

Rasulullah dalam sebuah haditsnya menyatakan bahwa “agama adalah akal, maka tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Kegiatan akal yang harus selalu dilakukan dalam rangka menemukan “Tuhan” (tawhid) dan kebenaran firman-firmanNya adalah belajar (menuntut ilmu) dan berfikir atau merenungkan diri dan alam sekitar.Menurut Syekh Muhammad Hsein Thabathaba’i dalam kitabnya al-Mizan, ada lebih 300 kali dalam al-Qur’an Allah mengajak atau menganjurkan manusia menggunakan anugerah akal ini baik secara perintah eksplisit ataupun yang implisit. Pengamalan atas perintah penggunaan akal ini akan menjadikan manusia menjadi uutuu al-‘ilm (pemilik ilmu) yang bersama-sama orang beriman dinaikkan derajatnya oleh Allah. (QS 58: 11)
Indikator utama orang yang telah berilmu adalah takut kepada Allah yang dibuktikan dengan peningkatan pengabdiannya kepadaNya, sebagaimana disebutkan dalam QS 44: 28.

Kalau begitu maka orang yang telah memiliki semua gelar akademis tidaklah serta merta disebut sebagai orang berilmu ketika kecerdasan spiritualnya tidak terbukti dalam kehidupan kesehariannya. Indikator lainnya adalah kemampuannya untuk berkata dan berbuat sesuatu secara bijak. Ketidakbijakan seseorang adalah tanda ketidakberilmuannya.

Keterkaitan akal sebagai permata pertama dengan keilmuan dan keterkaitan keberilmuan dengan kecerdasan spiritual mengantarkan kita pada bahasan permata diri kedua, yaitu agama. Agama adalah terjemahan dari bahasa Arab al-din, istilah bahasa Arab yang sesungguhnya tidak dapat secara utuh diwakili oleh kata agama.Al-din adalah satu akar kata yang sama denganal-dayn (utang), tamaddun (budaya/peradaban), madany (beradab/civilized) dan madinah (kota). Fakta bahasa ini seakan menyelipkan pesan bahwa dengan agama maka kehidupan manusia akan memiliki tingkat peradababan yang tinggi. Kota tempat tinggalnya akan menjelma menjadi kota yang teratur, beradab dan damai karena semua hati penduduknya taat pada Tuhannya, sebagai wujud syukur dan membayar “utang jasa” atas karunia Tuhan.Sudah sering dibahas dalam kolom pencerah hati episode sebelunya tentang fungsi agama bagi kehidupan manusia baik yang berdasarkan nash (dalil) naqly yang didapatkan dari al-Qur’an dan hadits serta yang berdasarkan dalil ‘aqly yang didapatkan dari penelitian-penelitian ilmiah.

Tidak benar yang dikatakan beberapa orang atheis bahwa beragama adalah menunjukkan jiwa pengecut dan gampang putus asa. Yang benar adalah bahwa beragama berarti berani dan bertanggung jawab serta memiliki pengharapan besar akan kebahagiaan abadi, sebuah pemikiran yang melampaui kekerdilan pemikiran mereka yang tidak beragama. 

    Mutiara ketiga adalah rasa malu. Secara etimologis, malu dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan dengan kata shyness,embarrassment dan shame. Kata-kata ini memiliki konotasi yang berbeda walaupun sama-sama bisa dimaknai “malu.” Rasa malu sebagai permata diri adalah rasa malu karena telah berbuat kejahatan atau rasa malu untuk berbuat sesuatu yang melanggar hukum. Rasa malu seperti inilah yang termasuk dalam makna hadits Rasulullah “malu adalah sebagian dari iman.”Di beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Inggris dan Cina sering diberitakan ada pejabat yang mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa malu dengan skandalnya yang terungkap ke ranah publik. Lebih “sadis” lagi adalah ketika pejabat yang melakukan skandal itu sampai mengakhiri hidupnya karena malu telah mengkhianati janjinya. Islam tidak menganjurkan orang yang malu atas skandal dan pelanggaran hukum untuk bunuh diri yan merupakan pelanggaran hukum juga, tetapi juga tidak membiarkan para pelanggar hukum itu tebal muka dan pura-pura tuli dan buta atas pelanggaran yang dilakukannya.Islam mengajarkan manusia untuk memiliki rasa malu yang mengantarkannya untuk bertaubat dan istighfar dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Ketika pelanggarannya adalah bersifat politis maka taubatnya juga taubat politik, berupa pengunduran dirinya, disamping taubat yang bersifat umum.Ketika pelanggarannya adalah berkaitan dengan finansial dan ekonomi, seperti korupsi atau perampokan uang rakyat, maka disamping taubat agama diperlukan juga “taubat ekonomi, yakni dengan mengembalikan harta yang didapatkannya dengan cara yang tidak benar kepada mereka yang berhak. Demikian pula pelanggaran-pelanggaran yang lain.

   Permata yang keempat adalah amal shalih atau perbuatan baik. Allah senantiasa memberikan kesempatan pada setiap manusia untuk berbuat baik sesuai dengan perintah dan teladan yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan al-hadits. Perbuatan baik ini akan memiliki makna positif untuk alam kehidupan secara umum dan juga kepada dirinya sendiri sebagai pelaku.

Kehidupan dunia memiliki satu kaidah yang senantiasa berlaku yang disebut dengan kaidah perputaran. Bunyi kaidah ini adalah: “Apapun yang Anda lakukan akan berputar untuk kembali kepada Anda, baik yang Anda lakukan itu adalah positif ataupun negatif.

”Ketika keempat mutiara diri di atas berkumpul dalam diri seseorang, maka orang itu akan menjelma sebagai pribadi mulia yang layak diteladani, pribadi yang terhormat yang pantas dijadikan guru, atau pribadi yang bernilai mahal yang layak dijadikan sahabat setia.

Sebaliknya jika ada seseorang yang kehilangan keempat mutiara diri tersebut di atas, maka orang itu adalah pribadi yang tidak lagi memiliki harga, tidak layak dijadikan panutan, guru ataupun sahabat

Oleh: Ahmad Imam Mawardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar