Senin, 01 Juni 2015

Tujuh Petuah Seorang Ayah

Oleh Hasan Basri Tanjung

 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tugas utama dan terbesar seorang ayah adalah mendidik istri dan anak-anaknya taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dulu, ketika anak-anak masih kecil, saya menyiapkan waktu khusus untuk shalat Subuh berjamaah di rumah dilanjut dengan taklim. Alhamdulillah, nilai-nilai akidah tauhid, ibadah, dan akhlak (adab) mulai tertanam dan tumbuh perlahan laksana sebatang pohon.Namun, akar pohon akidah tersebut masih dangkal dan rapuh. Pohon kepribadian itu mesti dijaga dan dirawat oleh sang ibu. Ibu merawat batang dan dahannya (ibadah) agar berbuah di sepanjang musim (akhlak karimah). Inilah Mukmin sejati seperti pohon yang baik (QS Ibrahim [14]:24-25).Sang ayah yang diabadikan namanya karena upaya pendidikan keluarga yang luar biasa adalah Lukman al-Hakim. Ungkapannya yang santun dan menyentuh hati, yaitu yaa bunayya (wahai anakku) diulang tiga kali.Petuahnya untuk bertauhid, berbakti kepada orang tua, melakukan kebaikan sekecil apa pun, mendirikan shalat, sabar, amar makruf nahi mungkar, dan jangan meremehkan manusia diabadikan dalam surah Lukman ayat 12-19 agar kita mengambil hikmahnya.Begitu pun sang ayah, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ya’kub AS menyapa dengan tutur kata yang lembut, yaa baniyya (wahai anak-anakku), untuk menanamkan akidah tauhid (QS al-Baqarah [2]: 132). Nabi Yakub AS juga menyapa anaknya Nabi Yusuf AS dengan panggilan, yaa bunayya (QS Yusuf [12]:5,67,87).Di pengujung hidupnya, ia mengevaluasi proses pendidikan tersebut dengan bertanya, “maa ta’buduuna min ba’dii” (apa yang kalian sembah setelah aku mati)? Mereka menjawab dengan tegas, yakni menyembah Tuhan Yang Esa, Allah SWT (QS al-Baqarah [2]:133). Beliau pun ter senyum hingga ajal menjemput.Sang ayah, Nabi Nuh AS, juga memberi pelajaran berharga. Perjuangannya mendidik anak lahir batin belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Konon, ketika banjir bandang menenggelamkan daratan, Nabi Nuh masih memanggil penuh harap dan sayang anaknya, Kan’an, “Yaa bunayya, masuklah ke dalam perahu bersama kami.”Namun, Kan’an tetap tak mau mengikuti seruan ayahnya hingga tenggelam dihantam ombak besar dalam kekafiran (QS Hud [11]:42-44). Beliau memberi pelajaran berharga, yakni walau anak menjadi fitnah dan musuh yang menyesakkan dada, ia tak boleh berputus asa.Bagi para ayah, tujuh petuah berikut ini bisa jadi rujukan. Pertama, “Wahai anakku, agama laksana petunjuk jalan menelusuri kehidupan.” Kedua, “Wahai anakku, ilmu laksana cahaya yang menyinari di kegelapan malam.” Ketiga, “Wahai anakku, harta laksana hiburan menyenangkan dalam pertunjukan.” Keempat, “Wahai anakku, berbagi laksana air yang mengaliri pepohonan lalu berbuah dan dimakan oleh yang membutuhkan.”Kelima, “Wahai anakku, cinta laksana sekuntum bunga dalam hati yang diliputi kerinduan.” Keenam, “Wahai anakku, seni laksana simponi keindahan Ilahi dalam jiwa.” Ketujuh, “Wahai anakku, adab (akhlak) laksana mahkota kemuliaan tanpa memandang keturunan.” Wallahu a’lam bish-shawab. ¦

Red: Agung Sasongko

Empat Sifat pemicu Dosa

Oleh: M Sinwani

 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Setiap anak cucu Adam itu banyak berbuat dosa dan kesalahan, tetapi sebaik-sebaik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.’’Demikian pesan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ia menjelaskan bahwa setiap pribadi dari kita pasti tak bisa lepas dari dosa dan kesalahan dalam kehidupan, baik lahir atau batin. Dan, kita dianjurkan sesegera mungkin memohon ampun dan bertobat kepada Allah SWT.Tobat hukumnya wajib bagi kita saat melakukan dosa dan kesalahan, begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan tobat berupa pengetahuan tentang dosa dan pemicunya juga ikut menjadi wajib,o karena bisa saja kita tergelincir kembali lantaran kurangnya pengetahuan tentang dosa.Dosa adalah suatu balasan dari setiap perkara yang menyimpang dari aturan dan perintah Allah SWT. Ia ada yang kecil dan ada pula yang besar. Dosa kecil dapat menjadi besar apabila kita kerjakan terus menerus, sedangkan dosa besar akan terputus apabila kita memohon ampun dan bertobat kepada Allah SWT.Dosa bisa pula diartikan sebagai sesuatu yang dapat menggelisahkan hati karena secara fitrah hati itu suci. Hati kita tentu menolak saat pertama kali bersinggungan dengan dosa dan kemaksiatan, tetapi manakala kita abai dan terus memperturutkannya maka sedikit demi sedikit hati akan tertutup dan buta dari kebaikan.Rasulullah SAW juga pernah ditanya tentang dosa dan kebaikan oleh salah seorang sahabat bernama Nauwas bin Sam’an. Beliau menjawab, "Kebaikan itu adalah perangai yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang beredar di hatimu dan engkau tidak suka diketahui oleh manusia yang lain." (HR Muslim).Dosa takkan terjadi tanpa ada pemicunya, ibarat api takkan muncul tanpa ada pemantiknya. Ada empat sifat dalam diri kita yang menjadi pemicu dosa, pertama, sifat rububiyyah. Tanpa kita sadari, terkadang kita masih menonjolkan sifat keakuan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sombong, membanggakan diri, dan senang mendapatkan pujian dari orang lain. Padahal, sejatinya sifat ini murni milik Allah SWT.Kedua, sifat syaithoniyyah, yakni sifat yang melekat pada diri setan dan menjadi identitasnya, seperti dengki, zalim, tipu daya, dan mengajak kepada kerusakan dan kemungkaran.Ketiga, sifat bahimiyyah, yakni sifat yang mana kita senantiasa menuruti nafsu layaknya hewan, baik nafsu perut ataupun kemaluan. Darinya muncul perkara yang dilarang, seperti berzina, mencuri, dan memakan harta anak-anak yatim.Adapun sifat pemicu dosa yang keempat adalah sifat sab’iyyah, yakni sifat buas yang menjadikan diri kita liar manakala kita tidak mampu mengendalikannya, seperti marah, dendam, mencelakai orang lain dengan ucapan dan tindakan hingga bisa berujung pada pembunuhan. Naudzubillah.Dengan mengetahui hakikat dosa dan pemicunya ini maka kita akan mampu menjaga diri agar tidak terkena percikan dosa yang dapat membakar diri kita di dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam.

Red: Agung Sasongko

Jangan Ingin Menang Sendiri

Oleh: Iu Rusliana 

-- Perbedaan pendapat itu sifatnya alamiah. Setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan sikap yang kadang berbeda. Hanya saja, perbedaan itu harus dibingkai komunikasi yang santun, mendorong pada dialog yang terbuka, dan tetap memelihara sikap menghargai satu sama lain. Kebenaran yang disampaikan, tapi bila caranya salah, dengan sikap yang arogan dan ingin menang sendiri, akan diterima salah.Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana beliau menghargai setiap perbedaan dan bila pun ada kekeliruan, meluruskannya dengan lemah lembut. Tak pernah ada cacian dan hinaan terucap, bahkan kepada musuhnya yang membencinya sekalipun. Perdebatan yang dilakukannya selalu terpelihara dari sikap menghinakan lawan bicara.Sementara kini, komunikasi antara sesama dan di ruang publik makin jauh dari sikap menghargai. Hanya karena berbeda pendapat, cacian, sindiran, dan ucapan melecehkan begitu mudah ditemukan dalam obrolan sehari-hari. Dalam acara televisi, arogansi dan caci-maki seolah telah menjadi tradisi. Bahkan di media sosial, mencela jadi biasa. Kesantunan dan menghormati sesama kini mulai menjadi perilaku langka.Di kalangan umat Islam, hanya karena berbeda dalam pemahaman keagamaan, mengafirkan menjadi biasa. Padahal, status kafir itu menakutkan. Siapa pun yang mengaku dirinya Muslim, akan sangat sedih bila dilabeli status itu. Janganlah dengan mudah menuding orang lain kafir karena hanya Tuhan yang tahu bagaimana kualitas beragama kita.Mengedepankan tabayun, komunikasi dua arah dan utuh akan mengurangi perbedaan persepsi. Sertakan semangat untuk memelihara ukhuwah Islamiyah. Jangan sampai perbedaan pendapat menjadi laknat.Ingatlah, Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk menyampaikan dakwah dengan bijak, santun, dan jika pun harus berbantahan, lakukanlah dengan baik. "Serulah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS an-Nahl: 125).Ayat ini salah satu maknanya memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah tauhid. Bahkan bila ada yang menolak dan meragukan Islam, bantahlah dengan cara yang terbaik. Apabila Rasulullah SAW saja diajarkan membantah dengan cara yang baik, tentu saja sebagai umatnya kita pun diperintahkan seperti itu.Janganlah berbantah-bantahan dan umpatan menjadi tradisi. Berkomunikasilah dengan menjaga perasaan orang lain tanpa kekerasan dan sindiran yang menyakitkan. Apalagi bila perbedaan pendapat itu dengan sesama Muslim, menahan diri dan menghormati apa yang menjadi pendapat saudara kita sangat utama. Semua kita tengah belajar beragama, tak ada seorang pun yang sempurna pengetahuannya. Bila ada ulama ahli fikih, pasti beliau kurang memahami bidang ilmu lain, demikian juga yang lainnya. Demikianlah, pengetahuan manusia terbatas. Sejatinya, apa yang diketahui, amalkanlah sebaik mungkin.Rasulullah SAW mengingatkan: "Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam zikir tentang Allah." (HR Darimi).Komunikasi yang sopan akan membawa pada semangat untuk menemukan kebenaran hakiki, bukan merasa benar sendiri. Ingatlah, kedalaman ilmu pengetahuan tidak ditentukan seberapa hebatnya kita berdebat. Belajar dan mengamalkannya menjadi penentu. Wallahu'alam.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG