Senin, 01 Juni 2015

Tujuh Petuah Seorang Ayah

Oleh Hasan Basri Tanjung

 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tugas utama dan terbesar seorang ayah adalah mendidik istri dan anak-anaknya taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dulu, ketika anak-anak masih kecil, saya menyiapkan waktu khusus untuk shalat Subuh berjamaah di rumah dilanjut dengan taklim. Alhamdulillah, nilai-nilai akidah tauhid, ibadah, dan akhlak (adab) mulai tertanam dan tumbuh perlahan laksana sebatang pohon.Namun, akar pohon akidah tersebut masih dangkal dan rapuh. Pohon kepribadian itu mesti dijaga dan dirawat oleh sang ibu. Ibu merawat batang dan dahannya (ibadah) agar berbuah di sepanjang musim (akhlak karimah). Inilah Mukmin sejati seperti pohon yang baik (QS Ibrahim [14]:24-25).Sang ayah yang diabadikan namanya karena upaya pendidikan keluarga yang luar biasa adalah Lukman al-Hakim. Ungkapannya yang santun dan menyentuh hati, yaitu yaa bunayya (wahai anakku) diulang tiga kali.Petuahnya untuk bertauhid, berbakti kepada orang tua, melakukan kebaikan sekecil apa pun, mendirikan shalat, sabar, amar makruf nahi mungkar, dan jangan meremehkan manusia diabadikan dalam surah Lukman ayat 12-19 agar kita mengambil hikmahnya.Begitu pun sang ayah, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ya’kub AS menyapa dengan tutur kata yang lembut, yaa baniyya (wahai anak-anakku), untuk menanamkan akidah tauhid (QS al-Baqarah [2]: 132). Nabi Yakub AS juga menyapa anaknya Nabi Yusuf AS dengan panggilan, yaa bunayya (QS Yusuf [12]:5,67,87).Di pengujung hidupnya, ia mengevaluasi proses pendidikan tersebut dengan bertanya, “maa ta’buduuna min ba’dii” (apa yang kalian sembah setelah aku mati)? Mereka menjawab dengan tegas, yakni menyembah Tuhan Yang Esa, Allah SWT (QS al-Baqarah [2]:133). Beliau pun ter senyum hingga ajal menjemput.Sang ayah, Nabi Nuh AS, juga memberi pelajaran berharga. Perjuangannya mendidik anak lahir batin belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Konon, ketika banjir bandang menenggelamkan daratan, Nabi Nuh masih memanggil penuh harap dan sayang anaknya, Kan’an, “Yaa bunayya, masuklah ke dalam perahu bersama kami.”Namun, Kan’an tetap tak mau mengikuti seruan ayahnya hingga tenggelam dihantam ombak besar dalam kekafiran (QS Hud [11]:42-44). Beliau memberi pelajaran berharga, yakni walau anak menjadi fitnah dan musuh yang menyesakkan dada, ia tak boleh berputus asa.Bagi para ayah, tujuh petuah berikut ini bisa jadi rujukan. Pertama, “Wahai anakku, agama laksana petunjuk jalan menelusuri kehidupan.” Kedua, “Wahai anakku, ilmu laksana cahaya yang menyinari di kegelapan malam.” Ketiga, “Wahai anakku, harta laksana hiburan menyenangkan dalam pertunjukan.” Keempat, “Wahai anakku, berbagi laksana air yang mengaliri pepohonan lalu berbuah dan dimakan oleh yang membutuhkan.”Kelima, “Wahai anakku, cinta laksana sekuntum bunga dalam hati yang diliputi kerinduan.” Keenam, “Wahai anakku, seni laksana simponi keindahan Ilahi dalam jiwa.” Ketujuh, “Wahai anakku, adab (akhlak) laksana mahkota kemuliaan tanpa memandang keturunan.” Wallahu a’lam bish-shawab. ¦

Red: Agung Sasongko

Empat Sifat pemicu Dosa

Oleh: M Sinwani

 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Setiap anak cucu Adam itu banyak berbuat dosa dan kesalahan, tetapi sebaik-sebaik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.’’Demikian pesan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ia menjelaskan bahwa setiap pribadi dari kita pasti tak bisa lepas dari dosa dan kesalahan dalam kehidupan, baik lahir atau batin. Dan, kita dianjurkan sesegera mungkin memohon ampun dan bertobat kepada Allah SWT.Tobat hukumnya wajib bagi kita saat melakukan dosa dan kesalahan, begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan tobat berupa pengetahuan tentang dosa dan pemicunya juga ikut menjadi wajib,o karena bisa saja kita tergelincir kembali lantaran kurangnya pengetahuan tentang dosa.Dosa adalah suatu balasan dari setiap perkara yang menyimpang dari aturan dan perintah Allah SWT. Ia ada yang kecil dan ada pula yang besar. Dosa kecil dapat menjadi besar apabila kita kerjakan terus menerus, sedangkan dosa besar akan terputus apabila kita memohon ampun dan bertobat kepada Allah SWT.Dosa bisa pula diartikan sebagai sesuatu yang dapat menggelisahkan hati karena secara fitrah hati itu suci. Hati kita tentu menolak saat pertama kali bersinggungan dengan dosa dan kemaksiatan, tetapi manakala kita abai dan terus memperturutkannya maka sedikit demi sedikit hati akan tertutup dan buta dari kebaikan.Rasulullah SAW juga pernah ditanya tentang dosa dan kebaikan oleh salah seorang sahabat bernama Nauwas bin Sam’an. Beliau menjawab, "Kebaikan itu adalah perangai yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang beredar di hatimu dan engkau tidak suka diketahui oleh manusia yang lain." (HR Muslim).Dosa takkan terjadi tanpa ada pemicunya, ibarat api takkan muncul tanpa ada pemantiknya. Ada empat sifat dalam diri kita yang menjadi pemicu dosa, pertama, sifat rububiyyah. Tanpa kita sadari, terkadang kita masih menonjolkan sifat keakuan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sombong, membanggakan diri, dan senang mendapatkan pujian dari orang lain. Padahal, sejatinya sifat ini murni milik Allah SWT.Kedua, sifat syaithoniyyah, yakni sifat yang melekat pada diri setan dan menjadi identitasnya, seperti dengki, zalim, tipu daya, dan mengajak kepada kerusakan dan kemungkaran.Ketiga, sifat bahimiyyah, yakni sifat yang mana kita senantiasa menuruti nafsu layaknya hewan, baik nafsu perut ataupun kemaluan. Darinya muncul perkara yang dilarang, seperti berzina, mencuri, dan memakan harta anak-anak yatim.Adapun sifat pemicu dosa yang keempat adalah sifat sab’iyyah, yakni sifat buas yang menjadikan diri kita liar manakala kita tidak mampu mengendalikannya, seperti marah, dendam, mencelakai orang lain dengan ucapan dan tindakan hingga bisa berujung pada pembunuhan. Naudzubillah.Dengan mengetahui hakikat dosa dan pemicunya ini maka kita akan mampu menjaga diri agar tidak terkena percikan dosa yang dapat membakar diri kita di dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam.

Red: Agung Sasongko

Jangan Ingin Menang Sendiri

Oleh: Iu Rusliana 

-- Perbedaan pendapat itu sifatnya alamiah. Setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan sikap yang kadang berbeda. Hanya saja, perbedaan itu harus dibingkai komunikasi yang santun, mendorong pada dialog yang terbuka, dan tetap memelihara sikap menghargai satu sama lain. Kebenaran yang disampaikan, tapi bila caranya salah, dengan sikap yang arogan dan ingin menang sendiri, akan diterima salah.Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana beliau menghargai setiap perbedaan dan bila pun ada kekeliruan, meluruskannya dengan lemah lembut. Tak pernah ada cacian dan hinaan terucap, bahkan kepada musuhnya yang membencinya sekalipun. Perdebatan yang dilakukannya selalu terpelihara dari sikap menghinakan lawan bicara.Sementara kini, komunikasi antara sesama dan di ruang publik makin jauh dari sikap menghargai. Hanya karena berbeda pendapat, cacian, sindiran, dan ucapan melecehkan begitu mudah ditemukan dalam obrolan sehari-hari. Dalam acara televisi, arogansi dan caci-maki seolah telah menjadi tradisi. Bahkan di media sosial, mencela jadi biasa. Kesantunan dan menghormati sesama kini mulai menjadi perilaku langka.Di kalangan umat Islam, hanya karena berbeda dalam pemahaman keagamaan, mengafirkan menjadi biasa. Padahal, status kafir itu menakutkan. Siapa pun yang mengaku dirinya Muslim, akan sangat sedih bila dilabeli status itu. Janganlah dengan mudah menuding orang lain kafir karena hanya Tuhan yang tahu bagaimana kualitas beragama kita.Mengedepankan tabayun, komunikasi dua arah dan utuh akan mengurangi perbedaan persepsi. Sertakan semangat untuk memelihara ukhuwah Islamiyah. Jangan sampai perbedaan pendapat menjadi laknat.Ingatlah, Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk menyampaikan dakwah dengan bijak, santun, dan jika pun harus berbantahan, lakukanlah dengan baik. "Serulah pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS an-Nahl: 125).Ayat ini salah satu maknanya memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah tauhid. Bahkan bila ada yang menolak dan meragukan Islam, bantahlah dengan cara yang terbaik. Apabila Rasulullah SAW saja diajarkan membantah dengan cara yang baik, tentu saja sebagai umatnya kita pun diperintahkan seperti itu.Janganlah berbantah-bantahan dan umpatan menjadi tradisi. Berkomunikasilah dengan menjaga perasaan orang lain tanpa kekerasan dan sindiran yang menyakitkan. Apalagi bila perbedaan pendapat itu dengan sesama Muslim, menahan diri dan menghormati apa yang menjadi pendapat saudara kita sangat utama. Semua kita tengah belajar beragama, tak ada seorang pun yang sempurna pengetahuannya. Bila ada ulama ahli fikih, pasti beliau kurang memahami bidang ilmu lain, demikian juga yang lainnya. Demikianlah, pengetahuan manusia terbatas. Sejatinya, apa yang diketahui, amalkanlah sebaik mungkin.Rasulullah SAW mengingatkan: "Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam zikir tentang Allah." (HR Darimi).Komunikasi yang sopan akan membawa pada semangat untuk menemukan kebenaran hakiki, bukan merasa benar sendiri. Ingatlah, kedalaman ilmu pengetahuan tidak ditentukan seberapa hebatnya kita berdebat. Belajar dan mengamalkannya menjadi penentu. Wallahu'alam.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG

Selasa, 26 Mei 2015

Nasehat al Ghazali Tentang Umur dan Waktu.

Simak untaian hikmah dari Mas SyaifulAnshor: Nasehat al Ghazali Tentang Umur dan Waktu.

Dalam banyak riwayat hadits disebutkan usia umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak lama. Berkisar sekitar 60-70 tahun.

Itu pun sudah tua: rambut mulai memutih, gigi mulai habis, pendengaran perlahan berkurang, dan tenaga mulai melemah.

Berbeda dengan usia umat Nabi sebelumnya yang panjang. Karena sedikitnya tempo usia umat Nabi Muhammad itu, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memuliakan diri dengan ilmu dan ibadah.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wassallam berkata: “Umur umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit dari mereka yang melampauinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Karenanya jika tidak dimanfaatkan dengan baik, maka waktu akan terbuang sia-sia.

Dan waktu yang telah berlalu tidak akan kembali. Dia akan pergi selamanya dengan segala kenangannya.

baik kenangan yang penuh penyesalan atau kebahagiaan. Manusia harus memanfaatkan waktu.

Hanya orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu dengan baik yang akan jadi mulia.

Kalau mau jujur, sebenarnya kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat daripada yang bermanfaat.

Kita lebih banyak bermain daripada belajar.
Kita lebih banyak bersendagurau daripada berfikir.
Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk duniawi daripada ukhrowi.
Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk membuat dosa ketimbang memupuk pahala.

Nauzubillah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni kealpaan kita. Aamiin.

Kita kebanyakan menghabiskan waktu hanya untuk tidur ketimbang untuk hal-hal yang bermanfaat dan ibadah.

Coba bayangkan, jika rata2 usia umat manusia di jaman Nabi Muhammad ini sekitar 60 tahun & waktu yg digunakan untuk tidur sekitar 8 jam/hari

Seperti diketahui, kebanyakan orang—terutama di Indonesia—tidur mulai pada pukul 20.00 malam dan bangun sekitar pukul 05.00 pagi.

Iya kalau bangun tidur jam 05.00 pagi. Pasalnya, tidak sedikit di antara kita yang masih suka bangun tidur di atas jam 05.00 hingga ada yang telat dan tertinggal sholat shubuh. Nauzubillah!

Nah, kalau misalnya, rata-rata tidur 8 jam sehari itu dikali dengan masa usia rata-rata manusia yang mencapai 60 tahun,

Maka setidaknya kita menghabiskan masa 20 tahun untuk hanya tidur. Saya ulangi lagi: kita menghabiskan waktu 20 tahun hanya untuk tidur!

Sekarang, kita hitung lagi berapa banyak waktu yang kita manfaatkan untuk ibadah.

Jika 20 tahun kita manfaatkan untuk tidur, maka sisa 40 tahun. Coba bayangkan brp waktu utk ibadah, berapa lama utk menuntut ilmu,dan berapa tahun waktu yang dihabiskan untuk main-main dan mencari kehidupan duniawi!

Tentu jawabnya berbeda-beda. Tergantung pribadi masing-masing. Sebab, biasanya, manusia punya jadwal hidup (life schedule) masing-masing.

Bisa dibayangkan jika perhari kita habiskan berapa lama hanya untuk bermain atau sekedar bersendau gurau.

Berapa lama waktu dihabiskan untuk membaca al-Quran, berzikir, dan belajar.
Padahal, waktu itu terus berjalan dan tidak akan kembali.

Waktu ibarat pedang tajam yang apabila tidak digunakan untuk memotong sesuatu dengan baik, maka pedang waktu tersebut akan memotong kita bahkan memutilasi kita perlahan-lahan.

Karenanya, yang membedakan kualitas kemuliaan seseorang adalah dari pemanfaatan waktu.

Kalau waktunya habis dengan kerja-kerja intelektual, spiritual, dan kebermanfaatan kolektif maka dia akan menjadi pribadi yang mulia.

Karenannya, seseorang akan jadi mulia dengan menghabiskan waktu-waktunya untuk belajar dan senantiasa berzikir pada Allah.

Seseorang juga akan jadi mulia dan terhormat bila menghabiskan malam-malam yang gelap gulita itu dengan belajar, dan shalat tahajud.

Seperti kata pepatah Arab di atas: “Man tholabal ‘ula sahiral layali”
(Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan maka seringlah bergadang pada malam hari).

Bergadang di situ tentunya bukan untuk sesuatu yang semu dan tidak manfaat. Seperti main, menonton film sepanjang malam, melihat pertandingan bola, dan hang out hingga larut malam.

Tapi, bergadang di situ adalah dengan melakukan kerja-kerja spiritual dan intelektual: belajar dan beribadah.

Ada banyak kisah orang sukses yg memanfaatkan waktunya. Dan, hampir semua orang sukses adalah orang yg memanfaatkan waktunya dengan baik.

Sebaliknya, orang gagal adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik.

Waktu-waktu yang dimanfaatkan orang beriman itu seharusnya seperti yang dilakukan para sahabat dan pejuang zaman Rasulullah.

Di mana pada siang hari mereka seperti singa di padang pasir yang berjuang tanpa lelah

Sedangkan malam harinya dihabiskan dengan beribadah seperti rahib-rahib.

Orang besar dan sukses adalah mereka yang memanfaatkan waktunya dengan baik.

Dia tidak mau ada waktu semenit saja yang terbuang tanpa kebaikan dan kemanfaatan.

Imam Al-Ghazali menasihatkan agar setiap hari kita meluangkan waktu sesaat misalnya selesai shalat Subuh untuk menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyârathah).

“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memperpanjang usiaku dan memberi nikmat.”

Al Quran Surat al ‘Ashr 1-3: mengingatkan; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati dalam supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”

Demikian sebuah nasehat dari Imam Al Ghazali | semoga bermanfaat'


Jumat, 10 April 2015

Lawan Sifat Dengki dengan Ghibthah


 

DENGKI atau hasad adalah sikap yang sangat tercela. Yaitu sikap seseorang yang tidak senang apabila melihat saudaranya mendapat kenikmatan, keuntungan atau karunia. Ia mengharapkan semua kenikmatan itu sirna dari saudaranya, dan kalau bisa berpindah kepada dirinya.

Sebagai firman Allah Swt, Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya (QS. AliImran [3]:120).

Dengki sangatlah tercela karena penyakit ini bisa menyebabkan berbagai penyakit lain yang tidak kalah busuknya. Yaitu dengki bisa mendatangkan rasa dendam, permusuhan, fitnah hingga kemunafikan yang merupakan dosa besar.

Betapa berbahayanya dengki itu, sampai-sampai Allah memperingatkan kita dari karakter dengki. Allah Swt berfirman,Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (QS. Al Falaq [113]:1-5).

Seperti seorang pedagang yang kiosnya bertetanggaan dengan pedagang lain. Mereka berjualan barang-barang yang kurang lebih sama. Namun, kios pedagang X lebih ramai dikunjungi pembeli disbanding kios pedagang Y. Lantas pedagang Y tidak suka atas apa yang terjadi pada pedagang X. Ia berharap dirinyalah yang mendapat keuntungan, bukan X. Timbul kegelisahan dalam hati Y, sehingga ia berfikiran negatif, mengharap apa yang dialami X, terjadi pada dirinya. Bahkan ia mengharapkan karunia yang dirasakan X itu berakhir.

Pendengki adalah orang yang paling rugi. Dia berbuat zhalim yang dirugikan dan menderita adalah dirinya sendiri. Padahal kedengkiannya pada orang lain tak akan mengubah apa yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Takdir Allah terhadap seseorang tak pernah bisa dihalang-halangi oleh seorangpun atau sesuatu apapun.

Malangnya seorang pendengki adalah ia akan semakin bertambah nelangsa dan menderita jika pemberian Allah kepada orang yang didengki itu semakin bertambah. Kedengkian adalah bukti kurang iman. Dengki itu bukti tidak ridha pada perbuatan Allah terhadap hamba-Nya. Dengki itu sikap ingin mengatur Allah sesuai hawa nafsunya. Tentulah dengki itu sikap yang tak punya adab. Yaitu adab terhadap Allah, Tuhan semesta alam.

Padahal sesunguhnya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya pasti dengan ke Mahaadilan-Nya. Harusnya kita bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan kepada kita, dan juga turut bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang beriman lainnya.Setiap orang mendapatkan kapling ketentuannya masing-masing. Jangankan satu kampung, bahkan kakak-adik saja atau kembar sekalipun tetap saja berbeda.

Rezeki, kemampuan, postur tubuh, jodoh dan hal lainnya tidak akan sama.Allah Swt memerintahkan sesama muslim untuk saling mendukung, membantu, mendoakan dan turut merasa gembira atas kegembiraan yang sedang dirasakan oleh sesama muslim. Inilah yang disebut dengan sikap Ghibthah, sikap yang bertolak belakang dengan dengki.

Para ulama menerangkan bahwa Ghibthah adalah rasa ingin mendapatkan kenikmatan atau keberuntungan yang didapatkan oleh orang lain, tanpa diiringi hawa nafsu yang menginginkan kenikmatan atau keberuntungan itu hilang dari orang yang mendapatkannya.

Orang yang Ghibthah juga tidak merasa benci manakala melihat orang lain mendapat nikmat atau keberuntungan.Inilah yang dimaksud dengan dengki atau hasad pada hadits berikut ini.

Rasulullah Saw bersabda, Tidak ada hasad yang dianjurkan, kecuali pada dua perkara, (Yaitu)(1) orang yang diberikan pemahaman Al Quran lalu dia mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan (2) orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang. (HR. Muslim.Shahih).

Ghibthah terhadap dua orang yang dijelaskan dalam hadits di atas merupakan sikap yang baik. Bolehkah kita Ghibthah pada urusan dunia? Hal ini memiliki hukum asal yaitu boleh. Seperti kia ingin memiliki kendaraan seperti yang dimiliki oleh saudara kita, maka itu diperbolehkan.

Namun, perlu kita waspadai bahwa sesuatu yang hukumnya boleh akan menjadi tercela jika berlebih-lebihan. Demikian juga Ghibthahdalam urusan dunia. Ini seperti yang terjadi pada kaum Qarun. Ketika mereka melihat kemewahan dan kekayaan Qarun, maka mereka berangan-angan memiliki kemewahan seperti Qarun. Hal ini diterangkan oleh Allah Swt dalam surat Al Qashash ayat 79-80.

Adapaun Ghibthah yang dianjurkan adalah dalam urusan akhirat. Imam Nawawi rahimatulullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ghibthah dalam urusan akhirat adalah terhadap dua orang yang melakukan dua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, atau perbuatan yang semisal dengannya.Ghibthah dalam urusan akhirat akan mendorong kita menjadi semakin semangat dalam beramal shaleh. Melihat orang yang hafidz Al Quran, maka kita menjadi semangat menghafal Al Quan. Melihat orang yang gemar bersedekah, maka kita menjadi semangat bekerja agar bisa leluasa sedekah.

Demikianlah contoh Ghibthah dalam urusan akhirat.Sahabatku dengki adalah perkara yang buruk. Lawanlah dengki dengan Ghibthah. Semoga kita tidak tergolong orang-orang yang merugi karena sesunguhnya dengki hanya mendatangkan dosa dan menyengsarakan diri. [*]

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Inilah

Rabu, 07 Januari 2015

Rumus Kehidupan

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar 

    SAUDARAKU, mungkin kita masih ingat beberapa rumus yang pernah diajarkan di sekolah. Seperti rumus luas lingkaran, segitiga, kubus, dan sebagainya. Rumus-rumus tersebut diajarkan di sekolah untuk memudahkan kita dalam menghitung. Orang tidak lulus ujian di sekolah bukan karena salah soal, tapi karena salah rumusnya. Salah rumus, salah jawabannya.Begitu dengan kehidupan ini. Rumus kehidupan adalah al-Quran dan Sunnah Rasul. Di antaranya adalah rumus tentang masalah, yang sehari-hari paling dekat dengan kita. Kita bisa membacanya pada surah al-Baqarah [2] ayat 155-157:

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kalaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata Inn lillhi wa inn ilaihi rjin (sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nyalah kami kembali). Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

      Rumus ini menerangkan bahwa hidup kita pasti akan ditimpakan oleh Allah SWT, sedikit ujian. Ketakutan, kelaparan, maupun kekurangan harta. Pasti ditimpakan, dan tidak bisa tidak. Tetapi ayat tersebut melanjutkan agar memberikan kabar gembira bagi orang yang sabar dalam melaluinya. Jadi, kalau kita sabar, maka kepahitan itu sebetulnya adalah kabar gembira.
    Lalu, sabar itu apa? Kita semua milik Allah, dan kita pasti kembali kepada-Nya. Satu tidak merasa memiliki, dua tidak punya tempat kembali. Sehingga selama kita merasa memiliki, dan selama kita masih mencari tempat kembali selain Allah, maka tidak akan ada sabar.
    Jadi dari musibahlah datangnya berita gembira bagi orang yang sabar. Yaitu orang yang merasa tidak memiliki apa pun, kecuali yakin lahir dan batin kalau semuanya milik Allah SWT.
   Dengan begitu, barang siapa yang ingin mendapatkan keberkahan yang sempurna, curahan rahmat dan petunjuk, maka dia harus siap melewati kepahitan yang sedikit, dan yang pasti ditimpakan.Nah, saudaraku, ketika diberikan sebuah ujian, kita merasa menderita itu bukan karena ujiannya yang besar. Ujiannya itu hanya sedikit, dan kepahitannya untuk kita pun sudah diukur. Kita menderita menghadapi ujian itu karena kita sendiri yang mendramatisirnya. Mengapa? Karena kita belum tahu rumusnya.Dikarenakan tidak tahu atau lupa rumusnya, kadang ada juga orang yang malah sengaja mendramatisir kesulitannya sendiri. Kepahitannya justru dijadikan sebagai pencitraan, supaya orang-orang kasihan lalu membantunya, maupun supaya orang-orang menganggap dirinya hebat.
    Jangan, saudaraku. Untuk apa? Ujian hidup kita yang sedikit itu urusannya dengan Allah SWT, dan setiap jalan keluar juga milik-Nya. Berdoalah kepada Allah dan bersabarlah. Tidak akan ada gunanya kita menangisi masalah, mempersalahkan orang lain, atau mencari simpati dan pencitraan atas masalah yang dihadapi, kecuali hanya akan membuat kita semakin menderita. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.(QS. ar-Rad [13]: 28).

   Jadi, mari kita baca dan pelajari al-Quran dan Sunnah. Kita pahami rumus kehidupan yang telah dijelaskan dengan amat terang di sana. Supaya kita bisa lulus ketika menghadapi ujian, dan supaya hidup kita di dunia yang sementara ini tidak gagal. [*]

Waspadai Candu Duniawi

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar 

CANDU adalah sesuatu yang membuat ketagihan. Namun, bahaya candu adalah yang bersifat dunia. Yakni candu bila dipuji, candu bila dihormati dan candu untuk dikagumi.
Saudaraku, manusia yang sudah kecanduan perlakuan dunia seperti itu. Hatinya akan merasa kurang senang bila tidak diperlakukan sebagaimana yang diinginkannya. Banyak contoh candu yang dapat mengotori hati, seperti candu ingin difoto, candu pencitraan, candu diwawancarai, candu didokumentasikan dan candu-candu dunia lainnya. 
   Bila ustad atau ulama memiliki candu seperti itu, maka ia tidak akan tenang hidupnya. Mereka akan sibuk menarik perhatian makhluk untuk candu yang ada pada dirinya. Tidak senang bila diperlakukan biasa-biasa saja. Tidak suka bila tidak ada yang memperhatikan. Maka, dia akan sibuk mencari perhatian dunia.
   Manusia yang sudah kecanduan dunia akan terus ingin diperhatikan oleh mahluk. Ia lupa kepada Allah yang Mahamelihat. Ia akan sibuk kepada dirinya sendiri, mulai dari penampilan dan sikap untuk mendapatkan perhatian makhluk, ingin disambut bila datang, dijamu, dan disalami tangannya. Dengan perlakuan seperti itu,ia akan merasa bangga dan senang. Itulah bahaya candu yang sudah tertanam dalam diri manusia yang haus akan perhatian makhluk.

    Berbeda halnya dengan manusia yang candu karena AllahSWT. Ia akan terus ketagihan dalam ibadah, dan mendekatkan diri kepada-Nya.Manusia yang sudah kecanduan ibadah karena Allah akan merasa tenang hidupnya.  Cukuplah Allah baginya. Hanya Allah yang menjadi tujuan hidupnya. Apapun yang dilakukan, bukan mengharap perrhatian dan pujian dari makhluk, namun Allah sebagai tempat akhir dalam amalannya.
Semoga kita terhindar dari candu yang memabukan dan melenakan terhadap dunia. [*]